Politik Identitas, Sebuah Kenyataan Yang Membahayakan

Oleh:
Arkamulhak Dayanun
Pegiat Demokrasi, mantan Aktivis PMII

Tanpa kita sadari dalam diri kita terdapat banyak identitas baik yang eksis sebagai sesuatu yang inheren maupun hadir akibat interaksi konstruktif. Kompleksitas identitias diwujudkan melalui banyak kategori seperti seperti suku, agama, ras dan antar golongan. 

Indonesia adalah negara tempat berkumpulnya beranekaragam identitas kemudian termanifesto dalam Sumpah Pemuda untuk bersama-sama  berikar dan mengikatkan diri kedalam tanah air, bangsa dan bahasa yang satu. Sudah menjadi takdir, karena letaknya yang menjadi lintasan budaya, agama dan perdagangan, memiliki ratusan pulau, bahasa dan budaya. Ini adalah tantangan sekaligus peluang untuk membangun kekuatan bangsa yang lebih maju.

Keanekaragaman sebagai sebuah fakta objektif Jika tidak dikelolah dengan baik akan menimbulkan perpecahan dan saling bertentangan satu sama lain bahkan mengakibatkan disintegrasi bangsa. Seperti yang pernah dikatakan Abraham Lincoln “sebuah rumah yang terpecah-belah dan saling bertentangan tidak bisa bertahan”.

Dalam perkembangan politik kontemporer, kita terkadang melupakan sebuah komitmen politik, bahwa tanah air Indonesia lahir atas sebuah kontrak dan konsensus politik untuk menyatukan perbedaan-perbedaan dalam kerangka tanah air yang satu yaitu Indonesia. 

Keanekaragaman yang dimiliki memberikan peluang bagi tumbuh suburnya gerakan politik identitas dewasa ini, yang sejak zaman orde baru ini dilihat sebagai suatau ancaman bagi stabilitas politik, terkungkung dengan penerapan asas tunggal. “Islam Politik” ditekan “Islam Ibadah” diangkat. Politik identitas menemukan momentum dan resonansinya setelah jatuhnya rezim orde baru. Indonesia melaksakan pemilu pertama tahun 1999, yang jika dilihat dari periodesasi Samuel Hutington sebagai gelombang demokratisasi ketiga.

Politik identitas sebagai sebuah gerakan politik selalu menemukan ruang dimana arena digaungkan, mengalami pergeseran makna dan tujuan. Politik identitas yang awalnya sebagai gerakan counter-hegemony yang bertujuan untuk kesetaraan, kebebasan dan persaudaraan, kini sebagai sebuah strategi politik yang bertujuan meraup suara sebanyak mungkin tanpa memperhatikan keadaban dan kewajaran.

Dalam demokrasi elektoral, politik identitas sebenarnya telah tumbuh subur sejak pemilu pertama pada tahun 1955.  Sebagaimana dikemukakan Kuntowijoyo “di masa lalu (Pemilu I, 1955) politik Indonesia dikenal sebagai cultural politics atau politics of meaning, politik yang berdasarkan budaya. Kelompok politik diorganisasikan secara vertical, bukan politik berdasarkan kelas secara horizontal. Agama, budaya, dan nilai-nilai yang sama bergabung jadi satu, tidak perduli kelasnya”.

Menjelang perhelatan pemilu serentak tahun 2024 nanti, politik identitas sebagai sebuah isu yang mengkhawatirkan selalu menjadi perhatian dari semua kalangan. Ada yang pro dan ada yang kontra, tentu perbedaan pendapat sah-sah saja dan sebuah dinamika. Tema ini begitu banyak berseliweran di berbagai macam platform media sosial, tumbuh subur dalam dialog-dialog akademisi.

Politik Identitas dalam pencarian bentuk       

Politik identitas sedang dan bahkan dalam waktu yang tidak bisa ditentukan akan selalu menghantui dunia saat ini, terutama dunia politik elektoral. Fenomena politik identitas tidak hanya melanda negara besar dengan demokrasinya, seperti amerika serikat, tetapi hampir melanda diseluruh negeri. Bahkan ada ungkapan bahwa “semua politik adalah politik identitas”.

Australia misalnya pernah melakukan kebijakan yang dikenal dengan Kebijakan Australia Putih, yang lebih memilih imigran kulit putih. Bahkan di negeri Paman Sam, ketika Donald Trump memenangkan pemilu 2016 yang mengantarkannya menduduki kursi presiden. Trump mengenalkan kebijakan yang dikenal dengan White Identity. Banyak pengamat politik berpendapat bahwa Trump dapat menghancurkan demokrasi yang telah di bangun, bahkan Steven Levitsky menyebutnya sebagai Demagog.

India pun sama, dalam prakteknya BJP pimpinan PM Narendra Modi kerap kali memberikan ruang merajalelanya politik identitas. Kontestasi atas identitas di India telah menjadi fitur politik yang sangat menentukan dalam meraup suara. Politik identitas yang begitu kental berjubah SARA mengakibatkan meletusnya konflik yang mengakibatkan berjatuhan banyak korban jiwa.

Di Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India pun tidak luput dari politik identitas. Pemilu 2014, Pilkada DKI 2017, dan pemilu 2019 adalah tahapan pelaksanaan yang dimana politik identitas telah begitu telanjang dipertontonkan kehadapan publik. Polarisasi sampai ke tingkat akar rumput begitu kuat bahkan sulit untuk dimusnahkan. Bahkan sampai sekarang label cebong-kampret masih banyak kita temui. Isu Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan ikut mewarnai lanskap perpolitikan di Indonesia. Frederik Barth mengatakan bahwa identitas etnik dan agama akan selalu mendapatkan ruang atau tempat dalam diri seseorang untuk ditampilkan, diantara sekian banyak identitas yang melekat pada dirinya. Ini mengindikasikan identitas tersebut akan sangat mudah untuk dimainkan sebagai sarana politik untuk mencapai kekuasaan.

Politik identitas yang telah mengakar kuat dalam sejarah sosial di Indonesia tidaklah statis, selalu mencari bentuk baru bagi para aktor politik demi tujuan tertentu. Jika kontestan memiliki identitas yang sama dalam hal Agama, maka akan bergeser ke identitas yang lain sampai menemukan perbedaan. Tentu yang paling merasa dominan kan selalu menjadikan identitas yang berbeda tersebut sebagai strategi. Misalnya Islam dan non Islam, Ras Indonesia Asli dan Ras Indonesia Pendatang, suku asli dan suku pendatang, begitu seterusnya. Bahkan fenomena terbaru ditemukan diplatform media sosial adalah isu tentang Indonesia Asli dan Indonesia Pendatang, tentu ini akan menjadi bola liar yang jika tidak disikapi dengan bijak akan menimbulkan segregasi sosial.

Pemilu-pemilu sebelumnya telah menjadi pelajaran yang sangat berharga bagaimana politik identitas telah cukup berkontribusi terciptanya polarisasi sosial bahkan bisa membunuh para pemilih rasional. Perilaku pemilih yang awalnya rasional bisa berubah menjadi pemilih emosional berdasarkan SARA yang kemudian dengan istilah double-think.

Politik Yang Beradab

Politik identias dalam kontestasi pemilu mendapat angina segar dengan diberlakukannya sistem pemilihan langsung, liberalisasi politik dan pelaksanaan desentralisasi politik. Dalam era pemilihan langsung, ekpresi identitas hadir dalam pentas politik. Ekpresi identitas ini mewujud agama, etnis, ras dan antar golongan. Ini merupakan fakta bahwa betapa kaya dan majemuknya Indonesia. Namun kemajemukan ini sangat rentan dijadikan sebagai strategi politik kekuasaan untuk memenuhi nafsu politik bahkan dengan cara-cara yang tidak beradab.

Pemilu sebelumnya telah memberikan tinta kelam dalam lanskap perpolitikan di Indonesia. Penggunaan narasi SARA terhadap saingan politik adalah mencerminkan sikap tidak beradab. Tentu klaim atas perjuangan politik identitas tertentu adalah masalah privat dan tidak ada larangan yang jelas terkait itu. Jika merujuk ke Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, Pasal 280 yang hanya mengatur tentang larangan dalam kampanye, seperti menghina SARA calon atau peserta lain dan menghasut serta mengadu domba. Tentu ini menjadi masalah lain yang harus segera dicarikan jalan keluar agar tercipta satu kepahaman terkait politik identitas dalam hukum pemilu.

Penggunaan simbol-simbol agama dan budaya dalam demokrasi elektoral yang tidak beradab bisa saja menjadi bahan bakar terjadinya konflik antar kelompok yang berbeda agama dan budaya bahkan ras. Kondisi ini tentu akan menimbulkan disintegrasi bangsa. Fakta telah memberikan kesaksian kepada kita bahwa politik identitas yang terjadi di Amerika Serikat sangat menyulitkan bagi umat Islam, terutama politik di India yang mengorbankan banyak nyawa dari umat Islam. 

Memang politik identitas sulit dihilangkan dalam demokrasi elektoral. Franscis Fukuyama mengatakan bahwa kita tidak akan bisa melepaskan diri dari perangkap politik identitas. Bahkan Bryan Caplan mengatakan bahwa pemilu yang (semata) ditentukan oleh pemilih rasional adalah mitos. Sulit bukan berarti tidak bisa yang kemudian mengubur dalam-dalam cita-cita demokrasi. Sulit bukan berarti kita harus setuju berlakunya politik identitas, tapi setidaknya akan selalu ada upaya dari kita semua untuk menghadirkan jalan bagi terciptanya demokrasi yang lebih baik, yang lebih memberikan ruang kepada semua pihak. (***)

Penulis merupakan putra asli Kota Luwuk, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tenggah.
Selain itu, penulis merupakan mantan Ketua Umum PMII Cabang Minahasa Provinsi Sulawesi Utara 

Comment